SEJARAH PERJUANGAN INDONESIA MERDEKA !!!
Sejarah Indonesia selama 1945—1949 dimulai dengan masuknya Sekutu diboncengi oleh Belanda (NICA) ke berbagai wilayah Indonesia setelah kekalahan Jepang, dan diakhiri dengan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Terdapat banyak sekali peristiwa sejarah pada masa itu, pergantian berbagai posisi kabinet, Aksi Polisionil oleh Belanda, berbagai perundingan, dan peristiwa-peristiwa sejarah lainnya.
Latar belakang terjadinya kemerdekaan
Sesuai dengan perjanjian Wina pada tahun 1942, bahwa negara-negara sekutu bersepakat untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang kini diduduki Jepang pada pemilik koloninya masing-masing bila Jepang berhasil diusir dari daerah pendudukannya.
Menjelang akhir perang, tahun 1945, sebagian wilayah Indonesia telah dikuasai oleh tentara sekutu. Satuan tentara Australia telah mendaratkan pasukannya diMakasar dan Banjarmasin, sedangkan Balikpapan telah diduduki oleh Australia sebelum Jepang menyatakan menyerah kalah. Sementara Pulau Morotai dan Irian Barat bersama-sama dikuasai oleh satuan tentara Australia dan Amerika Serikat di bawah pimpinan Jenderal Douglas MacArthur, Panglima Komando Kawasan Asia Barat Daya (South West Pacific Area Command/SWPAC).
Setelah perang usai, tentara Australia bertanggung jawab terhadap Kalimantan dan Indonesia bagian Timur, Amerika Serikat menguasai Filipina dan tentara Inggrisdalam bentuk komando SEAC (South East Asia Command) bertanggung jawab atas India, Burma, Srilanka, Malaya, Sumatra, Jawa dan Indocina. SEAC dengan panglima Lord Mountbatten sebagai Komando Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara bertugas melucuti bala tentera Jepang dan mengurus pengembalian tawanan perang dan tawanan warga sipil sekutu (Recovered Allied Prisoners of War and Internees/RAPWI).
Mendaratnya Belanda diwakili NICA
Berdasarkan Civil Affairs Agreement, pada 23 Agustus 1945 Inggris bersama tentara Belanda mendarat di Sabang, Aceh. 15 September 1945, tentara Inggris selaku wakil Sekutu tiba di Jakarta, dengan didampingi Dr. Charles van der Plas, wakil Belanda pada Sekutu. Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi NICA(Netherland Indies Civil Administration - pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook, ia dipersiapkan untuk membuka perundingan atas dasar pidato siaran radio Ratu Wilhelmina tahun 1942 (statkundige concepti atau konsepsi kenegaraan), tetapi ia mengumumkan bahwa ia tidak akan berbicara dengan Soekarno yang dianggapnya telah bekerja sama dengan Jepang.
Pidato Ratu Wilhemina itu menegaskan bahwa di kemudian hari akan
dibentuk sebuah persemakmuran yang di antara anggotanya ialah Kerajaan
Belanda dan Hindia Belanda, di bawah pimpinan Ratu Belanda.
Pertempuran melawan Sekutu dan NICA
Terdapat berbagai pertempuran yang terjadi pada saat masuknya Sekutu dan NICA ke Indonesia, yang saat itu baru menyatakan kemerdekaannya. Pertempuran yang terjadi di antaranya adalah:
- Peristiwa 10 November, di daerah Surabaya dan sekitarnya.
- Palagan Ambarawa, di daerah Ambarawa, Semarang dan sekitarnya.
- Perjuangan Gerilya Jenderal Soedirman, meliputi Jawa Tengah dan Jawa Timur
- Bandung Lautan Api, di daerah Bandung dan sekitarnya.
- Pertempuran Medan Area, di daerah Medan dan sekitarnya.
- Pertempuran Margarana, di Bali
- Serangan Umum 1 Maret 1949, di Yogyakarta
- Pertempuran Lima Hari Lima Malam, di Palembang
Ibukota pindah ke Yogyakarta
Karena situasi keamanan ibukota Jakarta (Batavia saat itu) yang makin memburuk, maka pada tanggal 4 Januari 1946, Soekarno dan Hatta dengan menggunakan kereta api, pindah ke Yogyakartasekaligus pula memindahkan ibukota. Meninggalkan Sutan Syahrir dan kelompok yang pro-negosiasi dengan Belanda di Jakarta.
Pemindahan ke Yogyakarta dilakukan dengan menggunakan kereta api,
yang disebut dengan singkatan KLB (Kereta Luar Biasa). Orang lantas
berasumsi bahwa rangkaian kereta api yang digunakan adalah rangkaian
yang terdiri dari gerbong-gerbong luar biasa. Padahal yang luar biasa
adalah jadwal perjalanannya, yang diselenggarakan di luar jadwal yang
ada, karena kereta dengan perjalanan luar biasa ini, mengangkut Presiden
beserta Wakil Presiden, dengan keluarga dan staf, gerbong-gerbongnya
dipilihkan yang istimewa, yang disediakan oleh Djawatan Kereta Api (DKA)
untuk VVIP.
1946
Perubahan sistem pemerintahan
Pernyataan van Mook untuk tidak berunding dengan Soekarno adalah salah satu faktor yang memicu perubahan sistem pemerintahan dari presidensiil menjadi parlementer. Gelagat ini sudah terbaca oleh pihak Republik Indonesia, karena itu sehari sebelum kedatangan Sekutu, tanggal 14 November 1945, Soekarno sebagai kepala pemerintahan republik diganti oleh Sutan Sjahrir yang seorangsosialis dianggap sebagai figur yang tepat untuk dijadikan ujung tombak diplomatik, bertepatan dengan naik daunnya partai sosialis di Belanda.
Terjadinya perubahan besar dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia (dari sistem Presidensiil menjadi sistem Parlementer) memungkinkan perundingan antara pihak RI dan Belanda. Dalam pandangan Inggris dan Belanda, Sutan Sjahrir dinilai sebagai seorang moderat, seorang intelek, dan seorang yang telah berperang selama pemerintahan Jepang.
Diplomasi Syahrir
Ketika Syahrir mengumumkan kabinetnya, 15 November 1945, Letnan Gubernur Jendral van Mook mengirim kawat kepada Menteri Urusan Tanah Jajahan (Minister of Overseas Territories, Overzeese Gebiedsdelen), J.H.A. Logemann, yang berkantor di Den Haag: "Mereka sendiri [Sjahrir dan Kabinetnya] dan bukan Soekarno yang bertanggung jawab atas jalannya keadaan". Logemann sendiri berbicara pada siaran radio BBC tanggal 28 November 1945, "Mereka
bukan kolaborator seperti Soekarno, presiden mereka, kita tidak akan
pernah dapat berurusan dengan Dr Soekarno, kita akan berunding dengan
Sjahrir". Tanggal 6 Maret 1946 kepada van Mook, Logemann bahkan menulis bahwa Soekarno adalah persona non grata.
Pihak Republik Indonesia memiliki alasan politis untuk mengubah
sistem pemerintahan dari Presidensiil menjadi Parlementer, karena
seminggu sebelum perubahan pemerintahan itu, Den Haagmengumumkan dasar rencananya. Ir Soekarno menolak hal ini, sebaliknya Sjahrir mengumumkan pada tanggal 4 Desember 1945 bahwa pemerintahnya menerima tawaran ini dengan syarat pengakuan Belanda atas Republik Indonesia.
Tanggal 10 Februari 1946,
pemerintah Belanda membuat pernyataan memperinci tentang politiknya dan
menawarkan mendiskusikannya dengan wakil-wakil Republik yang diberi
kuasa. Tujuannya hendak mendirikan persemakmuran Indonesia, yang terdiri
dari daerah-daerah dengan bermacam-macam tingkat pemerintahan sendiri,
dan untuk menciptakan warga negara Indonesia bagi semua orang yang
dilahirkan di sana. Masalah dalam negeri akan dihadapi dengan suatu
parlemen yang dipilih secara demokratis dan orang-orang Indonesia akan
merupakan mayoritas. Kementerian akan disesuaikan dengan parlemen tetapi
akan dikepalai oleh wakil kerajaan. Daerah-daerah yang bermacam-macam
di Indonesia yang dihubungkan bersama-sama dalam suatu susunan federasi
dan persemakmuran akan menjadi rekan (partner) dalam Kerajaan Belanda, serta akan mendukung permohonan keanggotaan Indonesia dalam organisasi PBB.
Pada bulan April dan Mei 1946, Sjahrir mengepalai delegasi kecil Indonesia yang pergi berunding dengan pemerintah Belanda di Hoge Veluwe.
Lagi, ia menjelaskan bahwa titik tolak perundingan haruslah berupa
pengakuan atas Republik sebagai negara berdaulat. Atas dasar itu
Indonesia baru mau berhubungan erat dengan Kerajaan Belanda dan akan
bekerja sama dalam segala bidang. Karena itu Pemerintah Belanda
menawarkan suatu kompromi yaitu: "mau mengakui Republik sebagai salah satu unit negara federasi yang akan dibentuk sesuai dengan Deklarasi 10 Februari".
Sebagai tambahan ditawarkan untuk mengakui pemerintahan de facto Republik atas bagian Jawa dan Madura yang belum berada di bawah perlindungan pasukan Sekutu. Karena Sjahrir tidak dapat menerima syarat-syarat ini, konferensi itu bubar dan ia bersama teman-temannya kembali pulang.
Sebagai tambahan ditawarkan untuk mengakui pemerintahan de facto Republik atas bagian Jawa dan Madura yang belum berada di bawah perlindungan pasukan Sekutu. Karena Sjahrir tidak dapat menerima syarat-syarat ini, konferensi itu bubar dan ia bersama teman-temannya kembali pulang.
Tanggal 17 Juni 1946, Sjahrir mengirimkan surat rahasia kepada van Mook,
menganjurkan bahwa mungkin perundingan yang sungguh-sungguh dapat
dimulai kembali. Dalam surat Sjahrir yang khusus ini, ada penerimaan
yang samar-samar tentang gagasan van Mook mengenai masa peralihan
sebelum kemerdekaan penuh diberikan kepada Indonesia; ada pula nada yang
lebih samar-samar lagi tentang kemungkinan Indonenesia menyetujui
federasi Indonesia - bekas Hindia Belanda dibagi menjadi berbagai negara
merdeka dengan kemungkinan hanya Republik sebagai bagian paling
penting. Sebagai kemungkinan dasar untuk kompromi, hal ini dibahas
beberapa kali sebelumnya, dan semua tokoh politik utama Republik
mengetahui hal ini.
Tanggal 17 Juni 1946,
sesudah Sjahrir mengirimkan surat rahasianya kepada van Mook, surat itu
dibocorkan kepada pers oleh surat kabar di Negeri Belanda. Pada tanggal 24 Juni 1946, van Mookmengirim kawat ke Den Haag: "menurut
sumber-sumber yang dapat dipercaya, usul balasan (yakni surat Sjahrir)
tidak disetujui oleh Soekarno dan ketika dia bertemu dengannya, dia
marah. Tidak jelas, apa arah yang akan diambil oleh amarah itu". Pada waktu yang sama, surat kabar Indonesia menuntut dijelaskan desas-desus tentang Sjahrir bersedia menerima pengakuan de facto Republik Indonesia terbatas pada Jawa dan Sumatra.
Penculikan terhadap PM Sjahrir
Tanggal 27 Juni 1946, dalam Pidato Peringatan Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW, Wakil Presiden Hatta menjelaskan isi usulan balasan di depan rakyat banyak di alun-alun utama Yogyakarta, dihadiri oleh Soekarno dan sebagian besar pucuk pimpinan politik. Dalam pidatonya, Hatta menyatakan dukungannya kepada Sjahrir,
akan tetapi menurut sebuah analisis, publisitas luas yang diberikan
Hatta terhadap surat itu, menyebabkan kudeta dan penculikan terhadap
Sjahrir.
Pada malam itu terjadi peristiwa penculikan terhadap Perdana Menteri Sjahrir, yang sudah terlanjur dicap sebagai "pengkhianat yang menjual tanah airnya". Sjahrir diculik di Surakarta, ketika ia berhenti dalam perjalanan politik menelusuri Jawa. Kemudian ia dibawa ke Paras, kota dekat Solo, di rumah peristirahatan seorang pangeran Solo dan ditahan di sana dengan pengawasan Komandan Batalyon setempat.
Pada malam tanggal 28 Juni 1946, Ir Soekarno berpidato di radio Yogyakarta. Ia mengumumkan, "Berhubung
dengan keadaan di dalam negeri yang membahayakan keamanan negara dan
perjuangan kemerdekaan kita, saya, Presiden Republik Indonesia, dengan
persetujuan Kabinet dan sidangnya pada tanggal 28 Juni 1946, untuk sementara mengambil alih semua kekuasaan pemerintah". Selama sebulan lebih, Soekarno mempertahankan kekuasaan yang luas yang dipegangnya. Tanggal 3 Juli 1946, Sjahrir dibebaskan dari penculikan; namun baru tanggal 14 Agustus 1946, Sjahrir diminta kembali untuk membentuk kabinet.
Kembali menjadi PM
Tanggal 2 Oktober 1946, Sjahrir kembali menjadi Perdana Menteri, Sjahrir kemudian berkomentar, "Kedudukan saya di kabinet ketiga diperlemah dibandingkan dengan kabinet kedua dan pertama. Dalam kabinet ketiga saya harus berkompromi dengan Partai Nasional Indonesia dan Masyumi... Saya harus memasukkan orang seperti Gani dan Maramis lewat Soekarno; saya harus menanyakan pendapatnya dengan siapa saya membentuk kabinet."
Konferensi Malino - Terbentuknya "negara" baru
Bulan Juni 1946 suatu krisis terjadi dalam pemerintahan Republik
Indonesia, keadaan ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda yang telah
mengusai sebelah Timur Nusantara. Dalam bulan Juni diadakan konferensi
wakil-wakil daerah di Malino,
Sulawesi, di bawah Dr. Van Mook dan minta organisasi-organisasi di
seluruh Indonesia masuk federasi dengan 4 bagian; Jawa, Sumatra,
Kalimantan dan Timur Raya.
1946-1947
Peristiwa Westerling
Pembantaian Westerling adalah sebutan untuk peristiwa pembunuhan ribuan rakyat sipil di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh pasukan Belanda Depot Speciale Troepen pimpinan Westerling. Peristiwa ini terjadi pada Desember 1946-Februari 1947 selama operasi militer Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan).Perjanjian Linggarjati
Bulan Agustus pemerintah Belanda melakukan usaha lain untuk memecah
halangan dengan menunjuk tiga orang Komisi Jendral datang ke Jawa dan membantu Van Mook dalam
perundingan baru dengan wakil-wakil republik itu. Konferensi antara dua
belah pihak diadakan di bulan Oktober dan November di bawah pimpinan
yang netral seorang komisi khusus Inggris, Lord Killearn. Bertempat di bukit Linggarjati dekat Cirebon. Setelah mengalami tekanan berat -terutama Inggris- dari luar negeri, dicapailah suatu persetujuan tanggal 15 November 1946 yang pokok pokoknya sebagai berikut :
- Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari1949,
- Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia
- Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Untuk ini Kalimantan dan
Timur Raya akan menjadi komponennya. Sebuah Majelis Konstituante
didirikan, yang terdiri dari wakil-wakil yang dipilih secara demokratis
dan bagian-bagian komponen lain. Indonesia Serikat pada gilirannya
menjadi bagian Uni Indonesia-Belanda bersama dengan Belanda, Suriname dan
Curasao. Hal ini akan memajukan kepentingan bersama dalam hubungan luar
negeri, pertahanan, keuangan dan masalah ekonomi serta kebudayaan.
Indonesia Serikat akan mengajukan diri sebagai anggota PBB. Akhirnya
setiap perselisihan yang timbul dari persetujuan ini akan diselesaikan
lewat arbitrase.
Kedua delegasi pulang ke Jakarta, dan Soekarno-Hatta kembali ke pedalaman dua hari kemudian, pada tanggal 15 November 1946, di rumah Sjahrir di Jakarta, berlangsung pemarafan secara resmiPerundingan Linggarjati.
Sebenarnya Soekarno yang tampil sebagai kekuasaan yang memungkinkan
tercapainya persetujuan, namun, Sjahrir yang diidentifikasikan dengan
rancangan, dan yang bertanggung jawab bila ada yang tidak beres.
Peristiwa yang terjadi terkait dengan hasil perundingan Linggarjati
Pada bulan Februari dan Maret 1947 di Malang, S M Kartosuwiryo ditunjuk
sebagai salah seorang dari lima anggota Masyumi dalam komite Eksekutif,
yang terdiri dari 47 anggota untuk mengikuti sidang KNIP (Komite
Nasional Indonesia Pusat), dalam sidang tersebut membahas apakah
Persetujuan Linggarjati yang telah diparaf oleh Pemerintah Republik dan
Belanda pada bulan November 1946 akan disetujui atau tidak Kepergian S M
Kartosoewirjo ini dikawal oleh para pejuang Hizbullah dari Jawa Barat,
karena dalam rapat tersebut kemungkinan ada dua kubu yang bertarung
pendapat sangat sengit, yakni antara sayap sosialis (diwakili melalui
partai Pesindo), dengan pihak Nasionalis-Islam (diwakili lewat partai
Masyumi dan PNI). Pihak sosialis ingin agar KNPI menyetujui naskah
Linggarjati tersebut, sedang pihak Masyumi dan PNI
cenderung ingin menolaknya Ketika anggota KNIP yang anti Linggarjati
benar-benar diancam gerilyawan Pesindo, Sutomo (Bung Tomo) meminta
kepada S M Kartosoewirjo untuk mencegah pasukannya agar tidak menembaki
satuan-satuan Pesindo.
DR H J Van Mook kepala Netherland Indies Civil Administration (NICA)
yang kemudian diangkat sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda, dengan
gigih memecah RI yang tinggal 3 pulau ini Bahkan sebelum naskah itu
ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947, *28 ia telah memaksa
terwujudnya Negara Indonesia Timur, dengan presiden Sukowati, lewat Konferensi Denpasar tanggal 18 - 24 Desember 1946
Pada bulan tanggal 25 Maret 1947 hasil perjanjian Linggarjati
ditandatangani di Batavia Partai Masyumi menentang hasil perjanjian
tersebut, banyak unsur perjuang Republik Indonesia yang tak dapat
menerima pemerintah Belanda merupakan kekuasaan berdaulat di seluruh
Indonesia 29 Dengan seringnya pecah kekacauan, maka pada prakteknya
perjanjian tersebut sangat sulit sekali untuk dilaksanakan.
Proklamasi Negara Pasundan
Usaha Belanda tidak berakhir sampai di NIT. Dua bulan setelah itu,
Belanda berhasil membujuk Ketua Partai Rakyat Pasundan, Soeria
Kartalegawa, memproklamasikan Negara Pasundan pada tanggal 4 Mei 1947.
Secara militer negara baru ini sangat lemah, ia benar benar sangat
tergantung pada Belanda, tebukti ia baru eksis ketika Belanda melakukan
Agresi dan kekuatan RI hengkang dari Jawa Barat.
Di awal bulan Mei 1947 pihak Belanda yang memprakarsai berdirinya
Negara Pasundan itu memang sudah merencanakan bahwa mereka harus
menyerang Republik secara langsung. Kalangan militer Belanda merasa
yakin bahwa kota-kota yang dikuasai pihak Republik dapat ditaklukkan
dalam waktu dua minggu dan untuk menguasai seluruh wilayah Republik
dalam waktu enam bulan. Namun mereka pun menyadari begitu besarnya biaya
yang ditanggung untuk pemeliharaan suatu pasukan bersenjata sekitar
100.000 serdadu di Jawa, yang sebagian besar dari pasukan itu tidak
aktif, merupakan pemborosan keuangan yang serius yang tidak mungkin
dipikul oleh perekonomian negeri Belanda yang hancur diakibatkan perang.
Oleh karena itu untuk mempertahankan pasukan ini maka pihak Belanda
memerlukan komoditi dari Jawa (khususnya gula) dan Sumatera (khususnya
minyak dan karet).
Agresi Militer I
Pada tanggal 27 Mei 1947, Belanda mengirimkan Nota Ultimatum, yang harus dijawab dalam 14 hari, yang berisi:
- Membentuk pemerintahan ad interim bersama;
- Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama;
- Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerahdaerah yang diduduki Belanda;
- Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama); dan
- Menyelenggarakan penilikan bersama atas impor dan ekspor
Perdana Menteri Sjahrir menyatakan
kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan,
tetapi menolak gendarmerie bersama. Jawaban ini mendapatkan reaksi keras
dari kalangan parpol-parpol di Republik.
Ketika jawaban yang memuaskan tidak kunjung tiba, Belanda terus
"mengembalikan ketertiban" dengan "tindakan kepolisian". Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam (tepatnya 21 Juli 1947) mulailah pihak Belanda melancarkan 'aksi polisionil' mereka yang pertama.
Aksi Belanda ini sudah sangat diperhitungkan sekali dimana mereka
telah menempatkan pasukan-pasukannya di tempat yang strategis. Pasukan
yang bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat (tidak
termasuk Banten), dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung
Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah
Semarang. Dengan demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan
perairan-dalam di Jawa Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar
Medan, instalasi- instalasi minyak dan batubara di sekitar Palembang,
dan daerah Padang diamankan. Melihat aksi Belanda yang tidak mematuhi
perjanjian Linggarjati membuat Sjahrir bingung dan putus asa, maka pada
bulan Juli 1947 dengan terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya
sebagai Perdana Menteri, karena sebelumnya dia sangat menyetujui
tuntutan Belanda dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah RI dengan
Belanda.
Menghadapi aksi Belanda ini, bagi pasukan Republik hanya bisa
bergerak mundur dalam kebingungan dan hanya menghancurkan apa yang dapat
mereka hancurkan. Dan bagi Belanda, setelah melihat keberhasilan dalam
aksi ini menimbulkan keinginan untuk melanjutkan aksinya kembali.
Beberapa orang Belanda, termasuk van Mook, berkeinginan merebut
Yogyakarta dan membentuk suatu pemerintahan Republik yang lebih lunak,
tetapi pihak Amerika dan Inggris yang menjadi sekutunya tidak menyukai
'aksi polisional' tersebut serta menggiring Belanda untuk segera
menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik.
Naiknya Amir Syarifudin sebagai Perdana Menteri
Setelah terjadinya Agresi Militer Belanda I pada bulan Juli, pengganti Sjahrir adalah Amir Syarifudin yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Dalam kapasitasnya sebagai Perdana Menteri, dia menggaet anggota PSII yang dulu untuk duduk dalam Kabinetnya. Termasuk menawarkan kepada S.M. Kartosoewirjo untuk
turut serta duduk dalam kabinetnya menjadi Wakil Menteri Pertahanan
kedua. Seperti yang dijelaskan dalam sepucuk suratnya kepada Soekarno dan Amir Syarifudin, dia menolak kursi menteri karena "ia belum terlibat dalam PSII dan masih merasa terikat kepada Masyumi".
S.M. Kartosoewirjo menolak tawaran itu bukan semata-mata karena loyalitasnya kepada Masyumi.
Penolakan itu juga ditimbulkan oleh keinginannya untuk menarik diri
dari gelanggang politik pusat. Akibat menyaksikan kondisi politik yang
tidak menguntungkan bagi Indonesia disebabkan berbagai perjanjian yang
diadakan pemerintah RI dengan Belanda. Di samping itu Kartosoewirjo tidak menyukai arah politik Amir Syarifudin yang kekiri-kirian. Kalau dilihat dari sepak terjang Amir Syarifudin selama manggung di percaturan politik nasional dengan menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan sangat jelas terlihat bahwa Amir Syarifudin ingin membawa politik Indonesia ke arah Komunis.
1948
Perjanjian Renville
Sementara peperangan sedang berlangsung, Dewan Keamanan PBB, atas desakan Australia dan India, mengeluarkan perintah peletakan senjata tanggal 1 Agustus 1947, dan segera setelah itu mendirikan suatu Komisi Jasa-Jasa Baik, yang terdiri dari wakil-wakil Australia, Belgia dan Amerika Serikat, untuk menengahi perselisihan itu .
Tanggal 17 Januari 1948 berlangsung
konferensi di atas kapal perang Amerika Serikat, Renville, ternyata
menghasilkan persetujuan lain, yang bisa diterima oleh yang kedua belah
pihak yang berselisih. Akan terjadi perdamaian yang mempersiapkan
berdirinya zone demiliterisasi Indonesia Serikat akan didirikan, tetapi
atas garis yang berbeda dari persetujuan Linggarjati, karena plebisit
akan diadakan untuk menentukan apakah berbagai kelompok di pulau-pulau
besar ingin bergabung dengan Republik atau beberapa bagian dari federasi
yang direncanakan Kedaulatan Belanda akan tetap atas Indonesia sampai
diserahkan pada Indonesia Serikat.
Pada tanggal 19 Januari ditandatangani persetujuan Renville Wilayah
Republik selama masa peralihan sampai penyelesaian akhir dicapai, bahkan
lebih terbatas lagi ketimbang persetujuan Linggarjati : hanya meliputi
sebagian kecil Jawa Tengah (Jogja dan delapan Keresidenan) dan ujung
barat pulau Jawa -Banten tetap daerah Republik Plebisit akan
diselenggarakan untuk menentukan masa depan wilayah yang baru diperoleh
Belanda lewat aksi militer. Perdana menteri Belanda menjelaskan mengapa
persetujuan itu ditandatangani agar Belanda tidak "menimbulkan rasa
benci Amerika".
Sedikit banyak, ini merupakan ulangan dari apa yang terjadi selama
dan sesudah perundingan Linggarjati. Seperti melalui persetujuan
Linggarjati, melalui perundingan Renville, Soekarno dan Hatta dijadikan
lambang kemerdekaan Indonesia dan persatuan Yogyakarta hidup lebih lama,
jantung Republik terus berdenyut. Ini kembali merupakan inti keuntungan
Seperti sesudah persetujuan Linggarjati, pribadi lain yang jauh dari
pusat kembali diidentifikasi dengan persetujuan -dulu Perdana Menteri
Sjahrir, kini Perdana Menteri Amir- yang dianggap langsung bertanggung
jawab jika sesuatu salah atau dianggap salah.
Runtuhnya Kabinet Amir dan naiknya Hatta sebagai Perdana Menteri
Dari adanya Agresi Militer I dengan hasil diadakannya Perjanjian Renville menyebabkan jatuhnya Kabinet Amir. Seluruh anggota yang tergabung dalam kabinetnya yang terdiri dari anggota PNI danMasyumi meletakkan jabatan ketika Perjanjian Renville ditandatangani, disusul kemudian Amir sendiri meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri pada tanggal 23 Januari 1948.
Dengan pengunduran dirinya ini dia mungkin mengharapkan akan tampilnya
kabinet baru yang beraliran komunis untuk menggantikan posisinya.
Harapan itu menjadi buyar ketika Soekarno berpaling ke arah lain dengan menunjuk Hatta untuk memimpin suatu 'kabinet presidentil' darurat (1948-1949), dimana seluruh pertanggungjawabannya dilaporkan kepada Soekarno sebagai Presiden.
Dengan terpilihnya Hatta, dia menunjuk para anggota yang duduk dalam kabinetnya mengambil dari golongan tengah, terutama orang-orang PNI, Masyumi, dan tokoh-tokoh yang tidak berpartai. Amirdan kelompoknya dari sayap kiri kini menjadi pihak oposisi. Dengan mengambil sikap sebagai oposisi tersebut membuat para pengikut Sjahrir mempertegas perpecahan mereka dengan pengikut-pengikut Amir dengan membentuk partai tersendiri yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI), pada bulan Februari 1948, dan sekaligus memberikan dukungannya kepada pemerintah Hatta.
Memang runtuhnya Amir datang bahkan lebih cepat ketimbang Sjahrir,
enam bulan lebih dulu Amir segera dituduh -kembali khususnya oleh
Masyumi dan kemudian Partai Nasional Indonesia- terlalu banyak memenuhi
keinginan pihak asing. Hanya empat hari sesudah Perjanjian Renville ditandatangani, pada tanggal 23 Januari 1948, Amir Syarifudin dan seluruh kabinetnya berhenti. Kabinet barudibentuk dan susunannya diumumkan tanggal 29 Januari 1948. Hatta menjadi Perdana Menteri sekaligus tetap memangku jabatan sebagai Wakil Presiden.
Tampaknya kini lebih sedikit jalan keluar bagi Amir dibanding dengan Sjahrir sesudah Perundingan Linggarjati; dan lebih banyak penghinaan. Beberapa hari sesudah Amir berhenti, di awal Februari 1948, Hatta membawa Amir dan beberapa pejabat Republik lainnya mengelilingi Provinsi. Amir diharapkan menjelaskan Perjanjian Renville. Pada rapat raksasa di Bukittinggi, Sumatra Barat, di kota kelahiran Hatta -dan rupanya diatur sebagai tempat berhenti terpenting selama perjalanan- Hatta berbicara tentang kegigihan Republik, dan pidatonya disambut dengan hangat sekali.
Kemudian Amir naik mimbar, dan seperti diuraikan Hatta kemudian: "Dia
tampak bingung, seolah-olah nyaris tidak mengetahui apa ayang harus
dikatakannya. Dia merasa bahwa orang rakyat Bukittinggi tidak
menyenanginya, khususnya dalam hubungan persetujuan dengan Belanda. Ketika dia meninggalkan mimbar, hampir tidak ada yang bertepuk tangan"
Menurut peserta lain: "Wajah Amir kelihatannya seperti orang yang sudah tidak berarti". Sjahrir juga diundang ke rapat Bukittinggi ini; dia datang dari Singapura dan berpidato. Menurut Leon Salim -kader lama Sjahrir- "Sjahrir juga kelihatan capai dan jarang tersenyum". Menurut kata-kata saksi lain, "Seolah-olah ada yang membeku dalam wajah Sjahrir" dan ketika gilirannya berbicara "Dia hanya mengangkat tangannya dengan memberi salam Merdeka dan mundur". Hatta kemudian juga menulis dengan singkat tentang pidato Sjahrir: "Pidatonya pendek".
Dipermalukan seperti ini, secara psikologis amat mungkin menjadi bara
dendam yang menyulut Amir untuk memberontak di kemudian hari.
Perjanjian Renville tidak lebih baik daripada perundingan di Linggarjati. Kedua belah pihak menuduh masing-masing melanggar perdamaian, dan Indonesia menuduh Belanda mendirikan blokade dengan maksud memaksanya menyerah. Bulan Juli 1948, Komisi Jasa-jasa Baik, yang masih ada di tempat mengawasi pelaksanaan persetujuan itu, melaporkan bahwa Indonesia mengeluh akan gencatan senjata yang berulang-ulang.
1948-1949
Agresi Militer II
Agresi Militer II terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.
Perjanjian Roem Royen
Akibat dari Agresi Militer tersebut, pihak internasional melakukan tekanan kepada Belanda, terutama dari pihak Amerika Serikat yang mengancam akan menghentikan bantuannya kepada Belanda, akhirnya dengan terpaksa Belanda bersedia untuk kembali berunding dengan RI. Pada tanggal 7 Mei 1949, Republik Indonesia dan Belanda menyepakati Perjanjian Roem Royen.
Serangan Umum 1 Maret 1949 atas Yogyakarta
Serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara
secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran
tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III -dengan mengikutsertakan
beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat- berdasarkan instruksi
dari Panglima Besar Sudirman,
untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI -berarti juga
Republik Indonesia- masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian
dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang
berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk mematahkan
moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.
Serangan Umum Surakarta
Serangan Umum Surakarta berlangsung pada tanggal 7-10 Agustus 1949
secara gerilya oleh para pejuang, pelajar, dan mahasiswa. Pelajar dan
mahasiswa yang berjuang tersebut kemudian dikenal sebagai tentara
pelajar. Mereka berhasil membumihanguskan dan menduduki markas-maskas
Belanda di Solo dan sekitarnya. Serangan itu menyadarkan Belanda bila
mereka tidak akan mungkin menang secara militer, mengingat Solo yang
merupakan kota yang pertahanannya terkuat pada waktu itu berhasil
dikuasai oleh TNI yang secara peralatan lebih tertinggal tetapi didukung
oleh rakyat dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang andal seperti Slamet Riyadi.
Konferensi Meja Bundar
Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949. Yang menghasilkan kesepakatan:
- Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat.
- Irian Barat akan diselesaikan setahun setelah pengakuan kedaulatan.
Penyerahan kedaulatan oleh Belanda
Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949, selang empat tahun setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Pengakuan ini dilakukan ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam. Di Belanda selama ini juga ada kekhawatiran bahwa mengakui Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama saja mengakui tindakan politionele acties (Aksi Polisionil) pada 1945-1949 adalahilegal.
0 comentarios:
Publicar un comentario